Senin, 20 Januari 2014

Nama Kerajaan, yang diambil dari nama sebuah pohon

                   
Pohon Medang
Pasti di antara kita telah mengetahui bahwa nama Majapahit diambil dari buah pohon maja (wilwa dalam Sansekerta) yang pahit, dan berita ini memang tercantum dalam kitab Nagarakretagama (1365 M) dan Pararaton (1614 M).
Logika kita di zaman digital ini sangatlah sukar menerima “latar belakang” pemberian nama pada sebuah desa yang kelak menjadi kerajaan besar hanya didasarkan sebuah pohon.
 Mengapa dulu Raden Wijaya dan orang-orang Madura yang membangun pemukiman baru itu mengambil nama untuk pemukiman dari sebuah pohon? Apakah karena pohon ini mampu beradaptasi di lahan berawa, di tanah kering, dan bisa tumbuh di tanah yang agak basa? Ataukah mereka hanya “iseng” menamai desa tersebut karena di sana banyak pohon maja yang buahnya pahit—dan tak pernah membayangkan bahwa kelak desa mereka menjadi sebuah kerajaan yang sangat berkuasa di Jawa dan Nusantara—seperti yang disebutkan Pararaton?

Namun, bila melacak naskah Nagarakretagama (pupuh 18) yang ditulis Prapanca tahun 1365 M di saat Majapahit atau Wilwatikta di puncak kejayaannya, kita akan menemukan bahwa kereta yang ditumpangi Sri Nata Wilwatikta alias Hayam Wuruk “bergambar buah maja, beratap kain geringsing, berhias lukisan emas, bersinar merah indah”. Mengenai pohon maja yang pahit, Nagarakretagama tak mengisahkannya, namun Pararaton dan sejumlah kidung (misalnya, Kidung Panji Wijayakrama), carita (Carita Waruga Guru misalnya), dan babad (Babad Tanah Jawi misalnya) yang ditulis beradab kemudian mengemukakan hal ini.
Beberapa karya sastra lain seperti Lubdhaka karya Mpu Tanakung pun mendukung hal ini. Lubdhaka mengisahkan seorang pemburu yang pada suatu malam menaburkan daun wilwa di atas lingga Dewa Siwa yang terletak di bawah pohon maja; dan sebagai tanda terima kasih, Dewa Siwa mengizinkan pemburu itu masuk  ke taman surga.

Ada pun di India dan wilayah yang warganya penganut Siwa, pohon maja pun begitu disakralkan. Sementara, mengenai sifat “pahit” dalam kata Majapahit ada sebuah teori yang mengatakan bahwa bukan dari kata pahit melainkan dari kata pait/pawit yang berarti “modal”; dengan begitu Majapait berarti “bermodalkan kesakralan buah maja”. Dan sebagai tambahan, buah maja rata-rata manis dan kini dapat dibuat sebagai sirup. Kesakralan pohon maja setara dengan pohon bodhi (Ficus religiosa) bagi umat Buddha, karena di bawah pohon inilah Sang Buddha bersemedi dan mendapatkan pencerahan.
Dari pemaparan tadi, dapat dipahami mengapa nama Majapahit atau Wilwatikta yang diberikan, bukan nama lain yang kedengarannya lebih “gagah” dan “pantas” untuk sebuah calon kerajaan. Kini, mari kita selidiki kerajaan atau ibukotanya atau tempat lain yang memakai salah satu pohon sebagai namanya. Misalnya, pohon medang pada nama ibukota Kerajaan Mataram seperti yang tertera dalam Prasasti Siwagraha, Mantyasih, Sugih Manek, Sangguran, Turyyan, Anjukladang, dan Paradah II yang dibuat pada abad ke-8 hingga ke-10. Prasasti-prasasti ini menyebut nama-nama: Mamratipurastha Medang kadatwan, i Medang i Bhumi Mataram, i Medang i Bhumi Mataram i Watugaluh. Belum lagi nama Medang Kamulan di Jawa Tengah, atau Medang Kahyangan di Sumedang, Jawa Barat.

Medang, disebut juga pohon huru (Cinnamomum porrectum), merupakan pohon yang ditumbuh 700 m dpl, ketinggiannya mencapai 35 m, panjang cabang 10 – 20 m, diameter 100 cm, batang umumnya berdiri tegak, berbentuk silindris, kulit luar warna kelabu, kelabu-coklat, coklat merah sampai merah tua. Penemuan arkelogis di Karangagung Tengah, Sumatra Selatan, berupa batang pohon medang sebagai tiang bangunan peninggalam zaman Sriwijaya memperkuat alasan mengapa pohon ini begitu penting. Di Karangagung Tengah, selain ditemukan sejumlah tiang bangunan dari pohon medang dan pohon nibung, ditemukan pula tinggalan arkelogis lain seperti  manik-manik dari bebatuan, kaca, dan emas; tembikar polos maupun berhias, natu asah, bandul jala, tulang vertebrata, cangkang moluska; gelang kaca, emas, dan perunggu. 

Begitu pula nama Aceh, yang sejak abad ke-16 merupakan kerajaan besar yang menguasai Sumatra dan sebagian kerajaan di Semenanjung Malaka. Menurut orang Melayu, nama Aceh diambil dari sejenis pohon yang dinamakan achi yang khas tumbuh di itu. Lombard menulis bahwa nama tempat ini pun (Aceh) “berasal dari nama sejenis tumbuhan, kendati kepastian mengenai hal itu tak ada”. Di Asia Tenggara sendiri penamaan sebuah wilayah atau kota (toponimi) memiliki etimologi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Itulah nama-nama sejumlah kerajaan tua di Nusantara yang namanya diambil dari sejenis pohon atau tumbuhan yang sebagian dianggap sakral. Belum lagi jika kita menelisik sejumlah nama sungai, desa, kecamatan yang tersebar di Nusantara, maka kita akan menemukan nama-nama pohon pada tempat geografis tersebut. Sebagai tambahan, ternyata nama Kerajaan Malaka di Semenanjung Malaya pun diambil dari pohon malaka, salah satu pohon yang disucikan oleh umat Hindu—sama halnya pohon maja.

Perlu ditambahkan pula bahwa kata puun atau puhun atau tangkal dalam bahasa Sunda yang berarti pohon banyak tertera dalam naskah-naskah Sunda kuno seperti Sewaka Darma dan Kawih Paningkes. Kata ini selalu mengacu kepada leluhur atau nenek moyang—hampir semakna dengan lingga. Gelar puun sendiri di Kanekes, Baduy, Banten, hingga kini mengacu kepada pemimpin adat tertinggi yang memberikan mandat atau tugas tentang mengelola pemerintahan pada wakilnya, yakni jaro tangtu. Jelaslah, bahwa pohon memiliki makna yang khusus dalam pandangan kosmologis masyarakat kuno—mungkin jauh sebelum agama Siwa, Wisnu, Buddha hadir di Nusantara. Hal ini akan menjelaskan juga mengapa dulu raja-raja dan bangsawan juga sebagian rakyat awam mempergunakan nama hewan-hewan yang juga mengandung makna istimewa di zamannya.

Dari telaah ini, menurut hemat penulis, pendapat yang menyatakan bahwa Majapahit merupakan akronim dari maharaja purahita perlu dipertimbangkan kembali (walau dari segi semiotika masuk akal). Memang sejumlah kata yang kini beredar berasal dari perpaduan sejumlah suku kata, dan kosakata masyarakat purba memang sangat sederhana di mana sebuah suku kata merupakan “kata” pada zamannya dan dengan begitu memiliki makna tersendiri. ( Andra )

Tidak ada komentar :

Posting Komentar