Keragaman budaya bangsa Indonesia yang juga tercermin dalam rumah adat Jawa Tengah
tentunya sudah sangat dikenal oleh banyak orang Indonesia. Kali ini
kita akan membahas keragaman tersebut dalam keunikan dan karakteristik
dalam rumah adat Jawa Tengah Joglo, yang pastinya sudah sangat dikenal
di seantero negeri. Rumah Joglo sudah sangat dikenal oleh banyak
masyarakat, terutama masyarakat Jawa Tengah. Joglo adalah kerangka rumah
yang membentuk rumah adat di Jawa Tengah yang berupa soko guru dan
terdiri dari empat pilar atau tiang penyangga utama dan tumpangsari
yakni susunan balok yang ditopang oleh soko guru.
Secara sosial, dulunya tidak banyak yang mempunyai rumah adat dikarenakan
rumah ini merupakan lambang status sosial bagi orang-orang Jawa yang
mempunya kemampuan ekonomi yang berlebih. Rumah Joglo adalah jenis rumah
yang membutuhkan banyak bahan materi rumah yang mahal, terutama dari
kayu. Umumnya pemilik rumah Joglo dulunya berasal dari kalangan ningrat
atau bangsawan. Rumah jenis ini biasanya juga membutuhkan lahan yang
luas dikarenakan beberapa bagian rumahnya digunakan untuk menerima tamu
atau memuat banyak orang.
Bagian-bagian dalam Rumah Adat Jawa Tengah
Umumnya bagian rumah adat Jawa Tengah terdiri dari tiga bagian utama:
pendhopo, pringgitan, dan omah ndalem atau omah njero. Pendhopo adalah
bagian rumah yang biasanya digunakan untuk menerima tamu. Pringgitan
adalah bagian ruang tengah yang digunakan untuk pertunjukan wayang
kulit; berasal dari akar kata “ringgit” yang artinya wayang kulit.
Bagian ketiga adalah omah ndalem atau omah njero, yang merupakan ruang
keluarga. Dalam omah njero terdapat tiga buah kamar (senthong), yaitu
senthong kanan, tengah, dan kiri.
Dilihat dari strukturnya, rumah adat Jawa Tengah mungkin terlihat
lebih sederhana. Pembangunan bagian rumah seperti pendhopo membutuhkan
empat buah tiang penyangga guna menyangga berdirinya rumah. Tiang-tiang
tersebut dinamakan soko guru, yang juga merupakan lambang penentu arah
mata angin. Dari empat soko guru tersebut, terdapat juga tumpang sari
yang merupakan susunan terbalik yang tersangga soko guru. Ndalem atau
omah njero digunakan sebagai inti dari sebuah Joglo. Dilihat dari
struktur tata ruangnya, bagian ndalem mempunyai 2 ketinggian yang
berbeda. Hal ini bertujuan agar terdapat ruang sebagai tempat sirkulasi
udara.
Joglo pada rumah adat suku Jawa yang terlihat sederhana dan
digunakan sebagai lambang atau penanda status sosial seorang priyayi
atau bangsawan Jawa. Rumah ini mempunyai keunikan atau kekhasan
tersendiri dengan adanya tiang-tiang penyangga atau soko guru, beserta
tumpang sari nya. Setiap bagian rumah merepresentasikan fungsi yang
berbeda, yang dibangun di atas lahan yang luas juga; oleh karena itu,
rumah ini hanyalah dipunyai orang dari kalangan berpunya saja.
Makna dan Filosofi Rumah Joglo
Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya
yang bersifat konkret. Dalam kontruksinya, setiap bagian/ruang dalam
rumah adat sarat dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat
pemilik kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan rumah tradisi Jawa.
Konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi setiap bagian yang berbeda
satu sama lain mengandung unsur filosofis yang yang sarat dengan
nilai-nilai religi, kepercayaan, norma dan nilai budaya adat etnis Jawa.
Selain itu, rumah tradisi Jawa memiliki makna historis yang perlu
dipelihara dan dilestarikan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP88lL0hB8ZoxaYAYqmpU0AunDvptEw5C5NO9PK9tYEWfJhTGO7oz2kWLJXSDdAbGiWAMWTMP_UXX8M7HonDJI6d0rMjf7UpDNVP3RPHa0J6XwStq4xtDjVOSHPCfiidHUyapSKFNgjLs/s1600/joglo-australia_011.jpg)
Perubahan tersebut tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan saat
ini. Maka tidak mengherankan apabila generasi muda etnis Jawa sendiri
tidak mengenal secara mendalam tentang rumah adat Jawa. Selain sulit
untuk menemukan rumah tersebut di lingkungan tempat tinggalnya, sedikit
sekali sumber informasi yang bisa mereka peroleh. Banyak bangunan
bernilai historis berarsitektur Jawa maupun etnis lain yang tidak
terpelihara atau bahkan dibongkar karena tidak dapat difungsikan lagi
dan diganti dengan gedung/bangunan modern.
Rumah tradisi Jawa masih bisa ditemukan pada Keraton Surakarta dan
Keraton Yogyakarta. berciri tropis sebagai upaya penyesuaian terhadap
kondisi lingkungan yang beriklim tropis. Salah satu bentuk penyesuaian
terhadap kondisi tersebut dengan membuat teras depan yang luas,
terlindung dari panas matahari oleh atap gantung yang lebar, mengembang
ke segala sudut yang terdapat pada atap joglo (Indrani, 2005: 47).
Menurut Rahmanu Widayat (2004: 2) Rumah tradisi Jawa yang bentuknya
beraneka ragam mempunyai pembagian ruang yang khas yaitu terdiri dari pendopo, pringgitan, dan dalem.
Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya.
Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat
umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat).
Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian
belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga
sarat dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan
terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi
kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata pencaharian
masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut disebut krobongan,
yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur,
bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi
pengantin baru (Widayat, 2004: 7). Krobongan merupakan ruang khusus yang
dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat
berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFDEJhh8gmcTEm8t67rEU9WwA8zwQbOxPPGxHqz83wR3xsMdn5gfAiRoKpPS4QhhyLKsYj4M-YxvI09JvNRVLYa2_u18DIdVFdADdLzewLUKiVUf0jR8QzqdaRJEhtwwe1jUIsoEscTbo/s1600/joglo-australia_0211.jpg)
Tulisan ini akan mengungkap konstruksi rumah tradisi Jawa secara
fisik dan meninjaunya dari segi filosofis masyarakat Jawa. Bangunan atau
rumah tradisi tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal tetapi juga
diharapkan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuninya
melalui pernggabungan unsur makrokosmos dan mikrokosmos di dalam rumah
tersebut. Dengan demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai dan
membawa dampak positif bagi penghuninya. Mendalami unsur filosofi dalam
rumah tradisi Jawa membuka kemungkinan usaha generasi muda sebagai
pewaris kebudayaan di masa yang akan datang untuk memelihara dan
melestarikan warisan generasi pendahulunya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar