Kamis, 23 Januari 2014

Permainan Anak Tradisional di Jawa



Gobak sodor merupakan permainan tradisional masyarakat kita pada jaman dahulu. Dikatakan gobak sodor karena permainan ini maju mundur melalui pintu-pintu. Dalam bahasa belanda istilah gobak sodor mungkin artinya sama dengan kata dalam bahasa inggris “Go Back through the Door”, sebagian menyebutkan galasin.
            Gobak sodor merupakan permainan beregu yang terdiri atas dua regu. Masing- masing regu biasanya terjadi dari 4-5 orang. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis kebaris terakhir secara bolak-balik dan untuk meraih kemenangan keseluruh anggota regu harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik. Permainan gobak sodor adalah sejenis permainan tradisional yang beregu dimana pemain yang berjaga berusaha menyentuh pemain lawan dengan menggunakan tangannya, sehingga pemain lawan tidak bisa melewati garis hingga garis terahir.
Permainan gobak sodor ini biasanya menggunakan lapangan segi empat dengan ukuran 9 x 4m. Lapangan tersebut dibagi enam bagian. Garis batas dari setiap bagian biasanya diberi tanda dengan kapur. Anggota regu yang mendapat giliran untuk menjaga lapangan ini terbagi dua, yaitu anggota regu yang menjaga garis batas horizontal dan garis batas vertikal. Bagi anggota grup yang mendapat tugas untuk menghalangai lawan. Mereka yang berusaha untuk melewati garis batas yang sudah ditentukan sebagai garis batas bebas. Bagi anggota regu yang mendapat tugas untuk menjaga garis batas vertikal, maka orang ini mempunyai akses untuk keseluruhan garis batas vertikal yang terletak ditengah lapangan. Permainan ini sangat mengasyikkan sekaligus karena setiap orang harus selalu berjaga dan berlari secepat mungkin jika diperlukan untuk meraih kemenangan. Selain itu diperlukan ketangkasan serta kekompakan dalam regunya mendapat kemenangan. Manfaat permainann gobak sodor (margusin) adalah:
1. Mengembangkan kecerdasan intelektual anak
1. Mengembangkan kecerdasan emosi dan antar personal anak
2. Mengembangkan logika anak
3. Mengembangkan kinestetik anak
4. Keterampilan anak senantiasa terasah, anak terkondisi membuat permainan dari berbagai bahan yang telah tersedia disekitarnya.
5. Mengajarkan rasa nasionalisme, cinta tanah air, keterampilan dan strategi, interaksi sosial, sportifitas dan kejujuran.
            Berikut ini adalah gambar dari lapangan gobak sodor berikut dengan posisi para penjaga dan yang tidak berjaga.
 
Keterangan gambar
1.      Bulatan yang berwarna biru adalah pemain yang tidak berjaga dan bulatan yang berwarna orange adalah pemain yang berjaga.
2.      Lapangan akan dibagi menjadi beberapa bagian secara melintang dan secara membujur yang akan membelah daerah permainan menjadi 2 bagian jalur yang akan dilalui oleh sang “seledor” dan bisa bergerak dari ujung ke ujung.
3.      Pemain yang berjaga akan mengisi baris-baris melintang di lapangan.
4.      Lapisan terahir menentukan apakah lawan dapat keluar dari lapangan dan lapisan pertama menentukan apakah lawan dapat masuk ke lapangan.
5.      Jumlah level atau garis melintang akan sama dengan jumlah pemain di satu tim biasanya 4-5 orang. Kalau makin banyak pemain maka lapangannya akan semakin besar.
6.      Pemain yang tidak berjaga akan berusaha untuk masuk kedalam lapangan, lalu melewati semua level dan keluar dari ujung satunya lagi dan kemudian berusaha kembali untuk bisa melakukan goal.
7.      Saat salah satu permainan lawan dapat melakukan goal itu, maka satu babak selesai dan yang tidak berjaga menang mendapatkan nilai dan kemudian permainan diulang lagi tanpa ada perubahan posisi berjaga.
8.      Pemain yang tidak berjaga kalah bila ada salah satu anggotanya tersentuh oleh yang berjaga atau bila salah satu pemainnya keluar dari lapangan sebelah kiri atau kanan.
9.      Bila pemain yang tidak berjaga terkurung dan tidak bisa lepas maka dia boleh menyerah dengan begitu timnya kalah.
 Peraturan permainan gobak sodor yaitu:
1.    Semua pemain tim penyerang akan dikira mati jika salah seorang dari mereka disentuh oleh pemain-pemain tim bertahan.
2.    Pemain tim penyerang tidak boleh mundur kebelakang setelah melewati garis lapangan, ia dikira mati yang akan menyebabkan perubahan posisi di tim.
3.    Pasukan penyerang dikira mati jika terdapat pemainnya keluar dari garis lapangan.
4.    Pasukan penyerang dikira menang jika salah seorang dari pemainnya dapat melewati semua garis hingga kembali ke baris permulaan. Satu poin diberikan kepada tim ini dan permainan akan dijalankan kembali.
5.    Mana-mana pasukan yang dapat mengumpulkan poin tertinggi akan dihitung memenangkan pertandingan tersebut.

Mengenal Gamelan Yogyakarta dan Jawa Tengah

Gamelan muncul didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.

Gamelan Orkestra adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.

 Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, “Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa).
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.
Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Untuk daerah Sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta umumnya gamelan terdiri dari 2 pangkon (jenis) yakni Slendro dan Pelog yang mempunyai titi nada yang berbeda. Slendro pada dasarnya adalah nada mendekati minor sedangkan Pelog menghasilkan nada yang cenderung mendekati nada diatonis. Berikut ini Seperangkat gamelan Jawa yang umumnya dibunyikan di Jawa Tengah umumnya, diantaranya :
1. Kendang
Kendang merupakan alat musik ritmis (tak bernada) yang berfungsi mengatur irama dan termasuk dalam kelompok “membranofon” yaitu alat musik yang sumber bunyinya berasal dari selaput kulit atau bahan lainnya.
Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa. Kendang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pengendang, sehingga bila dimainkan oleh satu orang denga orang lain maka akan berbeda nuansanya.
Menurut bukti sejarah, kelompok  membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang. Istilah ‘padahi’ tertua dapat dijumpai pada prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Seperti yang tertulis pada kitab Nagarakrtagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960), istilah tersebut terus digunakan sampai dengan jaman Majapahit.
Penyebutan kendang  dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai macam bentuk, ukuran serta bahan yang digunakan, antara lain : kendang berukuran kecil, yang pada arca dilukiskan sedang  dipegang oleh dewa , kendang ini disebut “damaru“.

 2. Rebab
Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Menyebar di daerah Jawa barat, Jawa Tengah & Jawa Timur. Rebab terbuat dari bahan kayu dan resonatornya ditutup dengan kulit tipis, mempunyai dua buah senar/dawai dan mempunyai tangga nada pentatonis. Alat musik yang menggunakan penggesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu nangka (umumnya)dan berongga di bagian dalam ditutup dengan kulit lembu yang dikeringkan sebagai pengeras suara.
Instrumen musik tradisional lainnya yang mempunyai bentuk seperti rebab adalah Tehyan yang resonatornya terbuat dari tempurung kelapa, rebab jenis ini dapat dijumpai di DKI Jakarta, Jawa dan Kalimantan Selatan
Untuk daerah Jawa Tengan dan Yogyakarta, lazimnya Instrumen ini terdiri dari kawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) dari babad sapi.
Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih. Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan.
Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing. Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.


3. Balungan
Yaitu alat musik berbentuk Wilahan (Jawa : bilahan) dengan enam atau tujuh wilah (satu oktaf ) ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator yang ditabuh dengan menggunakan tabuh dari kayu.
Dalam memainkan Balungan ini, tangan kanan memukul wilahan / lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet)
Menurut ukuran dan fungsinya, terdapat tiga jenis Balungan :
a. Demung, Alat ini berukuran besar dan beroktaf tengah. Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas. Lazimnya, satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung. Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.

 b. Saron, Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi. Seperti demung,  Saron memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai dua Saron, tetapi ada gamelan yang mempunyai lebih dari dua saron.

 c. Peking, Berbentuk saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi. Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu balungan.

Pertunjukan gamelan oleh orang Amerika
 d. Slenthem, Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender; malahan kadang-kadang ia dinamakan gender panembung. Tetapi slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron;
Ia beroktaf paling rendah dalam kelompok instrumen saron (balungan). Seperti demung dan saron barung, slenthem memainkan lagu balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
Slenthem merupakan salah satu instrumen gamelan yang terdiri dari lembaran lebar logam tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas tabung-tabung dan menghasilkan dengungan rendah atau gema yang mengikuti nada saron, ricik, dan balungan bila ditabuh. Seperti halnya pada instrumen lain dalam satu set gamelan, slenthem tentunya memiliki versi slendro dan versi pelog. Wilahan Slenthem Pelog umumnya memiliki rentang nada C hingga B, sedangkan slenthem slendro memiliki rentang nada C, D, E, G, A, C’. Cara memainkan :
Cara menabuh slenthem sama seperti menabuh balungan, ricik, ataupun saron. Tangan kanan mengayunkan pemukulnya dan tangan kiri melakukan “patet”, yaitu menahan getaran yang terjadi pada lembaran logam. Dalam menabuh slenthem lebih dibutuhkan naluri atau perasaan si penabuh untuk menghasilkan gema ataupun bentuk dengungan yang baik. Pada notasi C, D, E, G misalnya, gema yang dihasilkan saat menabuh nada C harus hilang tepat saat nada D ditabuh, dan begitu seterusnya.
Untuk tempo penabuhan, cara yang digunakan sama seperti halnya bila menggunakan balungan, ricik, dan saron. Namun untuk keadaan tertentu misalnya demung imbal, maka slenthem dimainkan untuk mengisi kekosongan antara nada balungan yang ditabuh lambat dengan menabuh dua kali lipat ketukan balungan. Atau bisa juga pada kondisi slenthem harus menabuh setengah kali ada balungan karena balungan sedang ditabuh cepat, misalnya ketika gendhing Gangsaran.

 4. Bonang
Alat musik ini terdiri dari satu set sepuluh sampai empat-belas gong- gong kecil berposisi horisontal yang disusun dalam dua deretan, diletakkan di atas tali yang direntangkan pada bingkai kayu. Pemain duduk di tengah-tengah pada sisi deretan gong beroktaf rendah, memegang tabuh berbentuk bulat panjang di setiap tangan.
Ada tiga macam bonang, dibeda-bedakan menurut ukuran, wilayah oktaf, dan fungsinya dalam ansambel. Untuk gamelan Jawa, bonang disini ada 2 jenis yakni Bonang Barung dan Bonang Penerus/ Penembung


Dalam gamelan Jawa Tengah ada tiga jenis bonang yang digunakan:
a. Bonang Panerus
adalah yang tertinggi dari mereka, dan menggunakan ketel terkecil. Pada umumnya mencakup dua oktaf (kadang-kadang lebih dalam slendro di Solo instrumen-gaya), seluas sekitar kisaran yang sama dengan saron dan peking gabungan. Ia memainkan irama tercepat bonang itu, saling layu dengan atau bermain di dua kali kecepatan dari bonang barung.
b. Bonang Barung
yang bernada satu oktaf di bawah bonang panerus, dan juga secara umum mencakup dua oktaf, kira-kira kelas yang sama dengan demung dan saron gabungan. Ini adalah salah satu instrumen yang paling penting dalam ansambel tersebut, karena banyak memberikan isyarat untuk pemain lain dalam gamelan.
c. Bonang Panembung
adalah nada terendah. Hal ini lebih umum di Yogyakarta gamelan gaya, seluas sekitar kisaran yang sama dengan slenthem dan demung gabungan. Ketika hadir dalam gaya gamelan Solo, mungkin hanya memiliki satu baris dari enam (slendro) atau tujuh ceret terdengar dalam daftar yang sama dengan slenthem. Hal ini dicadangkan untuk repertoire yang paling keras, biasanya memainkan bentuk lain dari balungan .
Bagian yang dimainkan oleh bonang barung dan bonang panerus lebih kompleks dibandingkan dengan banyak instrumen gamelan, sehingga, secara umum dianggap sebagai instrumen mengelaborasi . Kadang-kadang memainkan melodi berdasarkan balungan , meskipun umumnya diubah dengan cara yang sederhana. Namun, juga bisa memainkan pola yang lebih kompleks, yang diperoleh dengan menggabungkan dan panerus patters barung, seperti saling silih bergantinya bagian ( imbal ) dan interpolasi pola melodi jerau ( Sekaran ).
5. Kenong
Kenong merupakan unsur instrumen pencon gamelan yang paling gemuk, dibandingkan dengan kempul dan gong yang walaupun besar namun berbentuk pipih. Kenong ini disusun pada pangkon berupa kayu keras yang dialasi dengan tali, sehingga pada saat dipukul kenong tidak akan bergoyang ke samping namun dapat bergoyang ke atas bawah, sehingga menghasilkan suara. Bentuk kenong yang besar menghasilkan suara yang rendah namun nyaring dengan timber yang khas (dalam telinga masyarakat Jawa ditangkap berbunyi ning-nong, sehingga dinamakan kenong). Dalam gamelan, suara kenong mengisi sela-sela antara kempul.
Gamelan ini merupakan instrumen kedua yang paling penting setelah gong. Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong, atau kenongan.
Di samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga berhubungan dengan lagu gendhing;ia bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan;dan boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu gendhing; atau ia dapat memainkan nada berjarak satu kempyung dengan nada balungan, untuk mendukung rasa pathet.
Pada kenongan bergaya cepat, dalam ayaka yakan, srepegan, dan sampak, tabuhan kenong menuntun alur lagu gendhing-gendhing tersebut.
 6. Kethuk
Dua instrumen jenis gong sebesar kenong, berposisi horisontal ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu yang berfungsi memberi aksen-aksen alur lagu gendhing menjadi kalimat kalimat yang pendek.
Pada gaya tabuhan cepat lancaran, sampak, srepegan, dan ayak ayakan, kethuk ditabuh di antara ketukan ketukan balungan, menghasilkan pola-pola jalin-menjalin yang cepat.
 7. Gambang
Merupakan Instrumen mirip keluarga balungan yang dibuat dari bilah – bilah kayu dibingkai pada gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator.
Berbilah tujuh-belas sampai dua-puluh bilah, wilayah gambang mencakup dua oktaf atau lebih.
Gambang dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar dengan tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu/ batang fiber lentur. Pada seperangkat instrumen gamelan yang lengkap terdapat 3 buah gambang, yakni gambang slendro, gambang pelog bem, dan gambang pelog barang. Namun tidak sedikit yang terdiri hanya dua buah instrumen saja. Pada gambang pelog, nada 1 dan 7 dapat disesuaikan dengan gendhing yang akan dimainkan.
Kebanyakan gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu dengan ketukan ajeg.
Gambang juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi lagu dan ritme, seperti permainan dua nada dipisahkan oleh dua bilah, atau permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan pola lagu dengan ritme – ritme sinkopasi seperti pada gendhing Janturan/ Suluk.

8. Gender
Sama dengan Kendang, Gender ini kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa.
Instrumen mirip Slenthem namun dengan wilahan lebih kecil, terdiri dari bilah-bilah metal (Perunggu, Kuningan atau Besi) ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator.
Gender ini dimainkan dengan 2 tabuh berbentuk bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek.
Sama halnya dengan Gambang Pada seperangkat instrumen gamelan yang lengkap terdapat 3 buah Gender, yakni Gender slendro, Gender pelog bem, dan Gender pelog barang.
Sesuai dengan fungsi lagu, wilayah nada, dan ukurannya, ada dua macam gender:
a. Gender Barung
Gender berukuran besar, beroktaf rendah sampai tengah. Salah satu dari instrumen pemuka, gender barung memainkan pola-pola lagu berketukan ajeg (cengkok) yang dapat menciptakan tekstur sonoritas yang tebal dan menguatkan rasa pathet gendhing.
Beberapa gendhing mempunyai pembuka yang dimainkan gender barung; gendhing-gendhing ini dinamakan gendhing gender.
Dalam pertunjukan wayang, pemain gender mempunyai peran utama harus memainkan instrumennya hampir tidak pemah berhenti selama semalam suntuk dalam permainan gendhing, sulukan, dan grimingan.
 b. Gender Panerus
Gender berukuran lebih kecil, beroktaf tengah sampai tinggi. Meskipun instrumen mi tidak harus ada dalam ansambel, kehadirannya menambah kekayaan tekstur gamelan lebih kepyek. Gender ini memainkan lagunya dalam pola lagu ketukan ajeg dan cepat.


Turis Eropa sedang belajar main gamelan
Rumus untuk menabuh gender ini terdiri kurang lebih 12 cara, yaitu :
1) Tabuhan gendèr gembyang mbukak
2) Tabuhan gendèr gembyang nutup
3) Tabuhan gendèr gembyang minggah
4) Tabuhan gendèr gembyang mandha
5) Tabuhan gendèr kempyung mbukak
6) Tabuhan gendèr kempyung nutup
7) Tabuhan gendèr kempyung minggah
8.) Tabuhan gendèr kempyung mandhap
9) Tabuhan gendèr gantungan gembyang
10) Tabuhan gendèr gantungan kempyung
11) Tabuhan gendèr mipil
12) Tabuhan gendèr imbal (untuk lancaran, srepeg, palaran)
Untuk rumus lebih jelas silahkan klik tautan berikut :
http://wayangprabu.com/2011/03/17/duabelas-jurus-rumus-tabuhan-gender-barung/ atau
http://wayangprabu.com/2010/12/28/rahasia-nabuh-gender-barung/
9. Siter
Siter merupakan instrumen yang dimainkan dengan dipetik, terbuat dari kayu berbentuk kotak berongga yang berdawai. Pada umumnya site mempunyai dua belas nada, yaitu dari kiri ke kanan: 2, 3,5,6,1,2,3,5,6,1,2,3. (contoh untuk siter slendro).
Ciri khasnya satu senar disetel nada pelog dan senar lainnya dengan nada slendro. Umumnya sitar memiliki panjang sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam sebuah kotak ketika dimainkan. Siter dimainkan sebagai salah satu dari alat musik yang dimainkan bersama (panerusan), sebagai instrumen yang memainkan cengkok (pola melodik berdasarkan balungan). Siter dimainkan dengan kecepatan yang sama dengan gambang (temponya cepat).
Cara memainkannya dengan ibu jari, sedangkan jari lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik, ini biasanya merupakan ciri khas instrumen gamelan. Jari kedua tangan digunakan untuk menahan, dengan jari tangan kanan berada di bawah senar sedangkan jari tangan kiri berada di atas senar.
Siter dengan berbagai ukuran adalah instrumen khas Gamelan Siteran, meskipun juga dipakai dalam berbagai jenis gamelan lain.

 10. Kempul
Kempul merupakan salah satu perangkat gamelan yang ditabuh, biasanya digantung menjadi satu perangkat dengan Gong (mirip dengan Gong tapi lebih kecil) dengan jumlah tergantung dengan jenis pagelarannya, sehingga tidak pasti. Kempul menghasilkan suara yang lebih tinggi daripada Gong, sedangkan yang lebih kecil akan menghasilkan suara yang lebih tinggi lagi.
Dalam hubungannya dengan lagu gendhing, kempul bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan; kadang-kadang kempul mendahului nada balungan berikutnya; kadang-kadang ia memainkan nada yang membentuk interval kempyung dengan nada balungan, untuk menegaskan rasa pathet.

 11. Suling
Suling bambu yang memainkan lagu dalam pola-pola lagu bergaya bebas metris. Alat ini dimainkan secara bergantian, biasanya pada waktu lagunya mendekati akhiran kalimat atau kadang – kadang dimainkan pada lagu-lagu pendek di permulaan atau di tengah kalimat lagu.

 12. Gong
Sebuah kata benda yang merujuk bunyi asal benda, kata gong khususnya menunjuk pada gong yang digantung berposisi vertikal, berukuran besar atau sedang, ditabuh di tengah-tengah bundarannya (pencu) dengan tabuh bundar berlapis kain.
Gong menandai permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang.


Gong sangat penting untuk menandai berakhirnya satuan kelompok dasar lagu, sehingga kelompok itu sendiri (yaitu kalimat lagu di antara dua tabuhan gong) dinamakan gongan. Ada dua macam gong :
a. Gong Ageng
Gong gantung besar, ditabuh untuk menandai permulaan dan akhiran kelompok dasar lagu (gongan) gendhing.
    b. Gong Suwukan
Gong gantung berukuran sedang, ditabuh untuk menandai akhiran gendhing yang berstruktur pendek, seperti lancaran, srepegan, dan sampak.
13. Keprak
Keprak adalah suatu alat berbentuk lembaran yang terbuat dari perunggu atau besi dengan ukuran kira-kira 20 x 27 cm, terdiri beberapa lempengan, diberi lobang pada bagian atasnya dan diberi seutas tali, digantung pada kotak wayang dengan tatanan sedemikian rupa sehingga bila di pukul akan menimbulkan efek bunyi “prak-prak”.
Dalam gelaran wayang kulit gagrak Surakarta, keprak terdiri minimal 3 buah, ada yang 4 buah dan 5 buah. Sedangkan untuk pakeliran Gaya Yogyakarta keprak hanya terdiri dari satu lempengan besi saja yang di landasi dengan kayu seukuran keprak, dipukul dengan cempala besi yang di jepit oleh kaki seorang dalang sehingga menghasilkan efek bunyi “ting-ting”.
Agar menghasilkan suara keprak yang bagus seorang dalang harus tahu teknik memasang keprak dan teknik membunyikan keprak dengan baik. Keprak dalam pakeliran biasanya untuk mengiringi gerakan wayang serta untuk memantabkan solah (gerak) wayang. Dalang wayang kulit gagrak Surakarta saat ini lebih memilih keprak berbahan besi putih beberapa lembar di kombinasi dengan keprak perunggu beberapa lembar, yang di yakini mempunyai efek suara lebih nyaring.


Kurang lebih seperti dijelaskan di atas Seperangkat Gamelan yang ada di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta. Adapun yang belum disebutkan seperti Tambur/ Bedug merupakan instrumen Tambahan dalam pagelaran. Mohon masukannya dari para pembaca.
Matur Sembah Nuwun ( ndra)

[Kritik Ideologi] Wanita: Makna dan Filosofi Dalam Masyarakat Jawa

Animasi Wanita Jawa
SEBELUM mengupas filosofi tentang perempuan atau wanita Jawa , ada baiknya kita kenal dulu apa arti kata perempuan atau wanita. Setidaknya ada empat term di Jawa yang digunakan untuk menyebut perempuan.
- Wadon
Berasal dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) Wadu yang artinya kawula atau abdi. Secara istilah diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki.
- Wanita
Kata wanita terbentuk dari dua kata bahasa Jawa (kerata basa) Wani yang berarti berani dan Tata yang berarti teratur. Kerata basa ini mengandung dua pengertian yang berbeda. Pertama, Wani ditata yang artinya berani (mau) diatur. Dan yang kedua, Wani nata yang artinya berani mengatur. Pengertian kedua ini mengindikasikan bahwa perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi untuk bisa memerankan dengan baik peran ini.
- Estri
Berasal dari bahasa Kawi: Estren yang berarti panyurung (pendorong). Seperti pepatah yang terkenal, Selalu ada wanita yang hebat di samping laki-laki yang hebat.
- Putri
Dalam peradaban tradisional Jawa, kata ini sering dibeberkan sebagai akronim dari kata-kata Putus tri perkawis, yang menunjuk kepada purna karya perempuan dalam kedudukannya sebagai putri. Perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban, tiga kewajiban perempuan (tri perkawis). Baik kedudukannya sebagai wadon,wanita, maupun estri.

Tetapi, sebagai perempuan ada yang tidak saya sukai dari kejawaan itu. Salah satunya adalah ketidaktegasan, bentukewoh-pekewoh wong Jowo yang dikenal penuh basa-basi. Apalagi dengan bagaimana perempuan dicitrakan dalam karya-karya sastra Jawa kuno. Saya memang bukan penikmat sastra jawa. Atau karena itu saya tidak bisa menangkap makna yang seharusnya ingin disampaikan.
Misalnya dalam Kitab Clokantara disebutkan:
Tiga Ikang abener lakunya ring loka; //iwirnya, ikang iwah, ikang udwad, ikang janmasri, yen katelu,wilut gatinya,yadin pweka nang istri hana satya budhinya, dadi ikang tunjung tumuwuh ring cila//
Artinya: Tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan wanita. Ketiganya berjalan berbelit-belit. Jika ada wanita yang lurus budinya akan ada bunga tunjung tumbuh di batu.
Jelas bagaimana wanita dicitrakan dalam kalimat tersebut. Bahwa wanita disamakan dengan sungai dan tanaman melata yang berbelit-belit. Dan adalah ketidakmungkinan wanita untuk bisa mempunyai pendirian. Karena tidak akan ada bunga tunjung yang tumbuh di batu.

Juga tentang bagaimana perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam Serat Paniti Sastra:
Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan myang kuwate/ tuwin wiwekanipun/..
Artinya: Katanya yang telah selesai menuntut ilmu, wanita hanya seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaanya.
Jadi dalam kalimat di atas ada ketidaksetaraan antara pria dan wanita. Walau mungkin kenyataannya bisa jadi demikian.

Tapi menurut saya wanita harus diberi kesempatan sama dengan laki laki. Memang demikianlah adanya pandangan orang Jawa. Saya hanya memberi gambaran. Kalau sependapat boleh terima, tapi kalau mungkin tak sependapat ya jangan dipakai, cukup sebagai pengetahuan saja karena saya juga begitu.
Dalam kehidupan perempuan Jawa sering kita dengar istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunan. Hehehehe… Sepertinya tidak jauh-jauh dari sumur, dapur, dan kasur. Masa iya sih sedangkal itu. Tapi setelah dipikir lagi ternyata amat dalam.

1. Masak
Wanita atau perempuan Jawa tidak sekadar membuat/mengolah makanan, melainkan memberi nutrisi dalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sehat. Dalam aktivitas memasak pula seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan dan mengkombinasikan berbagai bahan menjadi satu untuk menjadi sebuah makanan. Ini adalah wujud kasih sayang istri terhadap seluruh anggota keluarga.
2. Macak
Macak adalah bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas bersolek mempercantik diri. di dalamnya terkandung makna menghiasi atau memperindah bangunan rumah tangga. Juga mempercantik batinnya supaya memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang, sabar dan mau bekerja keras.
3. Manak
Manak artinya melahirkan anak. Tidak semata proses bekerja sama dengan suami dalam membuat anak, mengandung dan melahirkan seorang buah hati. Akan tetapi mengurus, mendidik, dan membentuk karakteristik seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.
Menurut Ronggowarsito sedikitnya ada tiga watak perempuan yang jadi pertimbangan laki laki ketika akan memilih, yaitu:
1.Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan.
Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati.
2.Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan.
Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?
3.Watak Gemati, penuh kasih.

Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan Jawa relatif bisa memasak. Betul semua bisa beli, tetapi hasil masakan sendiri adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).
Kalau dipikir, tiga sifat di atas ‘tidak hanya’ cocok diterapkan pada wanita Jawa. Kurasa semua laki laki dari manapun akan menyenangi wanita dengan karakter tersebut. Karena sekarang yang dilihat bukan asal suku nya, tetapi karakternya. Dan tidak semua perempuan Jawa punya karakter tersebut. Dari hasil intip-intip pada perempuan sekelilingku ada tiga watak wanita Jawa yang kutangkap yaitu :
1. Tangguh, pekerja keras dan pantang menyerah;
2. Hemat dan mau hidup susah; dan
3. Penurut, setia, lembut
Untuk para ladies, bagaimanapun sebaiknya bisa mengenal filosofinya, meski tidak seluruhnya ditelan mentah dan dipakai begitu saja, tapi setidaknya bisa jadi pencerah . Atau paling tidak bisa mengerem ketika ladies jauh melenceng dari watak itu.
*** bdn

Kamasutra Jawa : Type Wanita Jawa Yang Ideal



Masyarakat Jawa Kuno telah mengenal dua macam tipe wanita yang pantas dinikahi:


1. Tipe Padmanagara

Tipe ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. lambe iwir manggis karengat (bibir bagaikan buah manggis terbuka)
b. liringe sor madu juruh (kerling matanya mengalahkan manisnya juruh madu)
c. sor tang nyuh danta santene (payudaranya mengalahkan kelapa gading)
d. wangkong iwir limas angene (pantat bagai limas yang baik)
e. wentis iwir pudak angrawit (betis bagai bunga pudak yang mempesona)
f. dalamakan gamparan gading (telapak kaki seperti gamparan gading)
g. adege padmanagara (tubuhnya seperti padmanagara)
h. lumampah giwang lan gangsa (lenggangnya beralun senada gamelan, seperti seekor angsa)
i. panepi iwir patrem konus (pinggang bagai patrem terhunus)
j. pupu iwir pol ginempotan (paha bagai daun palma yang diserut halus).

2. Tipe Nariswari

Tipe ini memiliki ciri-ciri: murub rahasyanipun (menyala rahasianya). Ciri-ciri lainnya berkaitan dengan tingkat spiritualitas dan inner beauty wanita. Ken Dedes merupakan contoh tipe ini.

 Adapun tipe wanita jawa ideal adalah sebagai berikut:

1. Kusuma Wicitra
Ibaratnya bunga mekar yang sangat mempesona, yang siap untuk dipetik. Wanita yang ideal sebaiknya mempersiapkan dirinya dengan ilmu pengetahuan dan agama, mengharumkan dirinya dengan perbuatan baik, menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.

2. Padma Sari
Ibaratnya bunga teratai yang sedang mekar di kolam. Bunga teratai dalam budaya Jawa merupakan simbul kemesraan, sehingga yang dimaksudkan dengan wanita ideal dalam konsep ini adalah wanita cantik yang penuh kasih mesra hanya bila bersama dengan suaminya.

3. Sri Pagulingan

Ibaratnya cahaya yang sangat indah di peraduan/singgasana raja. Wanita yang ideal sebaiknya tidak hanya cantik jasmaninya, namun juga dapat mempersembahkan dan menunjukkan kecantikannya hanya kepada suaminya ketika berolah asmara di peraduan.

4. Sri Tumurun

Ibaratnya bidadari nirwana yang turun ke dunia. Wanita yang ideal sebaiknya cantik raga dan jiwanya. Ini dibuktikan dengan kesediannya untuk “turun”, berinteraksi dengan rakyat jelata, kaum yang terpinggirkan untuk menebarkan cahaya cinta dan berbagi kasih.

5. Sesotya Sinangling

Ibaratnya intan yang amat indah, berkilauan. Wanita yang ideal sebaiknya selalu dapat menjadi perhiasan hanya bagi suaminya, sehingga dapat memperindah dan mencerahkan hidup dan masa depan suaminya, juga keluarganya.

6. Traju Mas

Ibaratnya alat untuk menimbang emas. Ini merupakan simbol wanita setia yang selalu dapat memberikan saran, pertimbangan, nasihat, demi terciptanya keluarga yang sakinah.

7. Gedhong Kencana

Ibaratnya gedung atau rumah yang terbuat dari emas, dan berhiaskan emas. Ini merupakan simbul wanita yang berhati teduh dan berjiwa teguh sehingga dapat memberikan kehangatan dan kedamaian bagi suami dan keluarganya.

8. Sawur Sari

Ibaratnya bunga yang harum semerbak. Wanita yang ideal sebaiknya dikenal karena kebaikan hatinya, keluhuran budi pekertinya, kehalusan perasaannya, keluasan ilmunya, kemuliaan akhlaknya. Kecantikan fisik dan kekayaan harta yang dimiliki wanita hanya sebagai pelengkap, bukan syarat mutlak seorang wanita ideal.

9. Pandhan Kanginan
Ibaratnya pandhan wangi yang tertiup angin. Ini merupakan simbul wanita yang amat menggairahkan, menawan, dan memikat hati. Dapat dilukiskan sebagai: tinggi semampai, berparas cantik, berkulit kuning langsat, berbibir merah alami, berpayudara montok, murah senyum, tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, dapat memberikan keturunan.


Dalam Serat Yadnyasusila dijelaskan tentang tiga hal yang harus dimiliki oleh seorang wanita agar dapat menjadi wanita idaman:

1.Merak ati atau mrak ati
Berarti: membina kemanisan dengan mempercantik dan merawat diri (ngadi warni), memperindah busana (ngadi busana), berwajah ceria (ngadi wadana), murah senyum (sumeh), santun dalam bertutur kata (ngadi wicara), dan sopan serta luwes dalam berperilaku (ngadi solah bawa).

2.Gemati

Berarti siap untuk merawat, mengasuh, mendidik putra-putrinya, mengatur rumah tangga, melayani suami dengan penuh keikhlasan.

3.Luluh
Berarti mampu selalu menyenangkan hati suaminya, selalu menyediakan waktu setiap hari untuk suami dan anak-anaknya, sabar dan gembira saat mengasuh anak-anaknya, dan selalu berusaha menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dalam keluarganya.

Untuk memilih (menikahi) wanita, dalam tradisi Jawa ada beberapa faktor yang biasanya menjadi bahan pertimbangan:

1.Bibit
Berkaitan dengan kecantikan wanita baik secara lahiriah maupun batiniah.

2.Bebet
Berkaitan dengan kemampuan dan kekayaan ayah wanita yang akan dinikahi.

3.Bobot

Berkaitan dengan asal-usul atau keturunan wanita yang akan dinikahi.

***ndra

INTERMESO : Pesona Wanita Jawa & Sunda di Mata Pria Indonesia

Dulu waktu saya masih kuliah beberapa kawan saya (Tigor, John Tobing, Saut, dan lain-lain ) yang merupakan keturunan suku batak mempunyai istri orang jawa atau orang sunda. Padahal berdasarkan cerita mereka, bapaknya meminta mereka mencari kekasih boleh gadis dari suku apa saja, tapi untuk jadi istri kalo bisa gadis batak.
Mereka sudah berusaha menuruti anjuran orang tuanya, tapi apa daya, yang ketemu dan pas di hati hanya gadis Jawa dan gadis sunda, akhirnya dengan berat hati dan berat ongkos, mereka pun menikah dengan gadis jawa dan gadis sunda. Pilihan mereka tidak salah rupanya, dalam perjalanan waktu, kehidupan keluarga mereka bahagia, orang tua mereka di huta (kampung di sumatra) yang tadinya kurang suka dengan menantu, malah jadi suka dan jatuh cinta. Malah ada yang titip ke mantunya minta di carikan istri orang jawa atau sunda kalo bisa yang muda, karena sang mertua sudah lelah hidup sendiri menduda. :D
wanita Jawa Jaman dulu
Singkat cerita, kawan-kawan dari suku batak, termasuk kawan-kawan dari suku ambon, bugis, padang, dayak, banjar, menado, papua yang mempunyai istri wanita jawa atau sunda menjelaskan tentang pesona dan kelebihan gadis Jawa dan sunda di mata mereka. Mereka tidak melebih-lebihkan karena sudah mengalami sendiri. Dalam hati saya hanya bisa membenarkan, karena yang mereka ceritakan benar adanya menurut saya.
Untuk lebih jelasnya tentang pesona gadis Jawa dan sunda, nih...lihat ! ;
1. Wanita Jawa Ayu dan wanita sunda Geulis. Bukan rahasia lagi kalo banyak gadis-gadis jawa yang ayu, baik ayu rupanya, maupun Ayu namanya, kalo gak percaya silakan nongkrong di Tunjungan Plaza Surabaya, Malioboro Mall Yogya, Ambarukmo Plaza Yogya dan Solo Paragon Mall, banyak gadis-gadis jawa yang ayu, sampai kawan saya bilang, “Ayu tenan rek”. Dan juga kebanyakan gadis-gadis sunda itu geulis, kalo gak percaya silakan nongkrong pas malam minggu di Bandung Indah Plaza, Paris Van Java Plaza, Cihampelas Walk, leher akan sakit dan kepala pusing, karena susah mencari wanita yang jelek, hampir semua yang bersliweran dan bolak balik masuk kategori geulis. Sampe kawan saya bilang, “geulis pisan euy”.
2. Wanita jawa dan sunda sifat aslinya NRIMO. Bila pria yang menjadi kekasihnya hanya apel malam minggu pake sepeda, atau sepeda motor, atau mobil pinjaman, tetap diterima, kalopun dilarang oleh bapaknya si gadis jawa atau sunda, pacaran tetap bisa dilakukan diam-diam (back street. Begitu pula saat sudah menikah, bila suaminya hanya bisa memberi gubuk di pinggir rel atau bantaran kali di terima (penghuni gubuk pinggir rel dan bantaran kali adalah keluarga dari jawa atau sunda), dan bila suami memberi rumah seperti istana karena sudah punya uang, juga akan diterima (contoh : Dipta anindita dan Mahdiana)
3. Wanita jawa dan sunda adalah penurut. Penurut disini beda artinya dengan nrimo. Penurut disini berarti gadis jawa atau sunda tidak membantah perkataan pasangan. Pasangan minta di buatkan teh atau kopi, dibuatkan. Pasangan minta dipijitin atau dikerokin karena masuk angin, dilakukan. Pasangan minta dilayani gaya-gaya sex terbaru karena terpengaruh nonton video porno seperti anggota DPR RI dari PKS ustad siapa itu pasti dilayani. Pasangan minta kawin lagi karena merasa mampu, diperbolehkan. (Contoh ; Eyang Subur, Syech puji, AA Gym) hahahaha.....
4. Wanita jawa dan sunda sayang mertua dan keluarga suami. Suatu anugerah bagi pasangan berumahtangga bila menantu diterima dengan hangat oleh mertua atau keluarga pasangan. Hal ini menjadi masalah klasik dihampir seluruh keluarga, menantu tak cocok dengan mertua, didepan suami bisa terlihat tak ada masalah, tapi jika sudah di dapur berdua, mertua perempuan khotbah kepada menantu perempuannya sejak bumbu diiris sampai masakan siap saji di meja makan. Ada saja masalah yang dibahas, nyapu tidak bersih, nyuci baju tidak bersih, dll, intinya gak becus ngurus suami (anak laki-laki kesayangannya). Nah wanita Jawa pintar mengambil hati mertua, misal : saat liburan ke luar negeri atau ke bali, mertua dibelikan oleh-oleh yang banyak, padahal uang di dompet pas-pasan, mengatakan kemana-mana masakan mertua paling enak padahal sering keasinan dan sebagainya.

wanita Jawa modern
No 5 dan 6 khusus wanita Jawa
5. Wanita Jawa menguasai bahasa pergaulan nasional dan internasional (bahasa jawa). Apa bahasa yang sering dipakai sebagai bahasa pergaulan di seluruh Indonesia, dan diseluruh dunia ? Jawabnya bahasa Jawa. Bahasa jawa di gunakan dimana-mana, dari Aceh sampai Papua, begitu juga di luar negeri, dari Amerika Utara sampai Australia, apalagi di Suriname, Hongkong, Malaysia, Timur Tengah dll yang banyak TKI dari Jawanya. Perhatikan deh jika banyak orang berkumpul, mereka menggunakan bahasa jawa dalam percakapannya, bukan bahasa Indonesia, hingga akhirnya teman-teman saya yang orang batak, menado, ambon terpaksa belajar bahasa jawa, dan tambah lama mereka bisa bicara bahasa jawa, tetapi bukan kelasnya kromo hinggil. Kata mereka : “sikit-sikit iso boso jowo.”
6. Wanita Jawa kuat dan gigih dalam berusaha. Orang tua mengatakan dibalik pria hebat ada wanita hebat dibelakangnya. Di Jawa kata-kata orang tua ini dilengkapi maknanya dengan kata-kata : tanpa pria, wanita akan menjadi lebih hebat.
Hal ini bisa terlihat dari contoh-contoh di bawah ini :
- Ny Meneer yang berdiri sejak tahun 1918, tidak pernah terdengar kiprah suaminya Tn Meneer dalam usaha jamunya,
- Ny Suharti (pengusaha restoran ayam goreng) berdiri sejak tahun 1965, tidak pernah terdengar kiprah suaminya Suharto dalam usaha restoran ayam goreng ini.
Bener-bener kuat dan gigih yah wanita jawa, berdiri sejak lama gak cape-cape, kita aja berdiri 3 jam udah kesemutan.

***bdn

Rabu, 22 Januari 2014

Nggagas lagu - Malaikat Juga Tahu

Lagu “Malaikat Juga Tahu” cocok untuk diperdengarkan pada moment Hari Ibu. Lirik lagu yang ditulis Dewi Lestari ini mempunyai makna yang sangat dalam. Pertama mendengar lagu ini, saya sulit menangkap maknanya. Namun begitu melihat videoklipnya dan akting Lukman Sardi yang  luar biasa memukau, baru saya tahu bahwa lagu ini bercerita tentang kasih ibu yang bak malaikat tak bersayap. Hadir setiap saat si anak membutuhkan. Kalau dikompetisikan, tidak ada orang lain yang bisa mengalahkan kasih seorang ibu. Kasih ibu tidak ada bandingnya, dia lah juaranya.

Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Tentunya lirik lagu yang indah dan sarat makna ini hanya bisa lahir dari jiwa yang mempunyai cita rasa seni sastra yang tinggi. Apa dan siapa Dewi Lestari, berikut penjelasan Wikipedia : Dewi Lestari Simangunsong yang akrab dipanggil Dee (lahir di Bandung, Jawa Barat,  20 Januari 1976; umur 35 tahun) adalah seorang penulis dan penyanyi asal Indonesia. Lulusan jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini awalnya dikenal sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Sejak menerbitkan novel Supernova yang populer pada tahun 2001, ia juga dikenal luas sebagai novelis (Wikipedia).
Lagu “Malakaikat Juga Tahu” ternyata diambil dari cerpen karya Dee dengan judul yang sama.  Ini kisah dibalik lagu ini :
Lagu ini diangkat dari cerpen yang judulnya sama dengan judul lagunya yaitu "Malaikat Juga Tahu". Ceritanya tentang seorang ibu bernama Bunda. Sang Bunda memiliki dua orang anak. Anak yang pertama dipanggil dengan nama Abang, dia mengalami autisme dan jatuh cinta pada seorang gadis. Meskipun awalnya si gadis jadi "Pacar Impian" si abang, tapi, setelah si gadis kenal dengan si Adik yang normal (anak kedua Bunda), si gadis lebih memilih si Adik dan menikah dengannya. Si abang (yang Autis) pun menderita karena kehilangan si gadis. Pada akhirnya cinta dan kesabaran sang ibulah yang menjadi juaranya. Jadi, dalam lagu ini yang dimaksud “malaikat juga tahu siapa yang jadi 'juaranya'” adalah cinta sang Bunda tersebut (http://ceritadibaliklagu.blogspot.com/2009/07/lagu-malaikat-juga-tahu-dewi lestari. html)
Memang benar ungkapan “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”.
Ini lirik selengkapnya lagu tersebut :
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku juga
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri
Cintaku
lah yang sejati
Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Kau selalu meminta terus kutemani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi
Karna tak sanggup sendiri
Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
aku kan jadi juaranya

Videonya disini : http://www.youtube.com/watch?v=wyrRFvHRTGg

SENI DAN BUDAYA JAWA YANG ADILUHUNG



Selama ini saya bukanlah seorang penikmat seni tradisional Jawa khususnya musik gamelan dan tari. Saya lebih sebagai penggemar  musik Barat yang lagunya nge-Rock...., ekspresif dan enerjik. Gamelan dan tari Jawa terlalu lamban, mellow, kurang rancak, pokoknya membikin ngantuk.  Keindahan musik, lagu dan tari Barat bisa dinikmati begitu indra mata dan telinga menangkapnya. Namun, untuk menemukan keindahan atau untuk bisa “connect” dengan seni musik dan tari Jawa sepertinya butuh waktu, batin, dan enerji pikiran yang lebih. Seni tari dan musik Barat adalah gambaran gelora jiwa yang meledak-ledak, bebas merdeka , ekspresif tanpa basa-basi, Gamelan dan tari Jawa (khususnya klasik) adalah gambaran sebaliknya: terkendali, lembut , santun penuh tata krama. Keindahan seni gamelan dan musik Jawa tidak cukup dipahami hanya lewat indra fisik tapi juga batin manusia . Pemahaman saya ini adalah murni kesimpulan pribadi seorang jurnalis amatir yang diambil dari  (hanya) beberapa kali menonton pertunjukan tari tradisional Jawa. Sekali pun amatir, penilaian itu datang dari orang Jawa dan baru saya menyadari betapa tinggi peradaban orang Jawa.



Orang Jawa” , identitas etnis yang selama ini tidak saya sadari , suatu yang saya anggap “given” : sudah terberi. Apa dan bagaimana orang Jawa? Nilai-nilai apa yang menunjukkan identitas sebagai Jawa? Apa itu budaya Jawa? Pertanyaan-pertanyaan ini selama ini tidak pernah terbersit dalam pikiran saya. Namun dengan menonton seni tradisional Jawa di Jogja maupun Surakarta menggelitik otak saya untuk berpikir dan berusaha mencari jawabannya. Penting tidak sih mempertahankan  identitas budaya Jawa?
Tentang apa yang dimaksud budaya, Wikipedia menjelaskan demikian :
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.  
Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama: kebudayaan material dan nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional (wikipedia).
Adapun  budaya Jawa  mempunyai beberapa ciri yang salah satunya adalah menjunjung tinggi nilai harmoni :
Kebudayaan Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur kehidupan harus harmonis, saling berdampingan, intinya semua harus sesuai. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakcocokan harus dihindari, kalau ada hal yang dapat mengganggu keharmonisan harus cepat dibicarakan untuk dibetulkan agar dapat kembali harmonis dan cocok lagi.
Biasanya yang menganggu keharmonisan adalah  perilaku manusia, baik  itu perilaku manusia dengan manusia atau perilaku manusia dengan alam. Kalau menyangkut perilaku manusia dengan alam yang membetulkan ketidakharmonisan adalah pemimpin atau menjadi tanggungjawab pimpinan masyarakat. Yang sulit apabila keseimbangan itu diganggu oleh perilaku manusia dengan manusia sehingga menimbulkan konflik. Ketidakcocokan atau rasa tidak suka adalah hal yang umum, namun untuk menghindari konflik, umumnya rasa tidak cocok itu dipendam saja (Wikipedia bahasa Jawa). 

Upaya menjaga harmonisasi ini rupanya yang  membuat kebanyakan orang Jawa tidak suka konflik secara terbuka. Ciri ini -kalau memakai bahasa gaul- “gue banget”. Sepertinya tidak sampai hati (ora tekan) kalau ada rasa tidak puas, tidak cocok terus diteriakkan lugas ke orangnya apalagi kalau di depan orang banyak atau forum. Untuk menyelesaikan konflik rasanya lebih sreg kalau dibicarakan secara pribadi dulu ketimbang langsung dibuka di forum dan diketahui orang banyak. Namun cara ini ada kelemahannya, karena tidak mau berbicara terbuka, orang Jawa menjadi lebih suka kasak kusuk atau menggerudel di belakang . Akibatnya, bukan mencoba mengembalikan keseimbangan atau harmonisasi malah justru memelihara ketidakharmonisan. Falsafah menjaga harmoni ini juga terlihat dari gerak tari tradisional Jawa terutama yang merupakan karya para raja Solo dan Yogya : halus, hati-hati, luwes, penuh perhitungan, ekspresi gerak dan wajah penarinya begitu terjaga , anggun dan agung, hampir tidak ada ekspresi spontan dan meledak-ledak. Bahkan konon untuk menarikan tarian ini penarinya harus menjalani ritual atau laku batin tertentu seperti puasa atau pantang.

Ciri atau identitas lainnya dari budaya Jawa adalah keyakinan Kejawen. Kejawen (Wikipedia) adalah kepercayaan yang hidup di suku Jawa. Kejawen pada dasarnya bersumber dari kepercayaan Animisme yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha. Karena itulah suku Jawa umumnya dianggap sebagai suku yang mempunyai kemampuan menjalani sinkretisme kepercayaan, semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa.
Kepercayaan Kejawen yang merupakan sinkretisme antara animisme dengan ajaran Hindu dan Budha menggambarkan bahwa orang Jawa pada dasarnya bersifat pluralis, terbuka, mudah menerima pengaruh budaya luar dan pandai menyesuaikannya dengan budaya sendiri dan bahkan mengolahnya menjadi bentuk budaya baru yang tidak kalah bahkan lebih bagus dari budaya aslinya. Contohnya seni tari dan wayang yang berkembang di Jawa  dan Bali bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana , namun jauh lebih indah dari Negara asalnya India.
Berbicara tentang budaya  Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta, tidak bisa dilepaskan dari Kraton sebagai pusat budaya Jawa. Karya seni Jawa baik sastra, gamelan, tari dan wayang adalah bentuk ekspresi budaya yang dikembangkan oleh raja-raja dan seniman atau pujangga Kraton Solo dan Yogya. Pada mulanya karya seni itu merupakan klangenan (hiburan) yang terbatas dinikmati kalangan kraton. Dalam perkembangannya, karya seni ini kemudian dipentaskan sebagai produksi seni pertunjukan bagi rakyat biasa. 
Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam…..
Di Yogyakarta, dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00.
Perubahan seni tradisi Kraton Jawa dari sebagai bentuk ekspresi budaya dan ritual kraton menjadi seni pertunjukan popular menjadikan seni tari dan wayang menyatu sebagai milik orang Jawa. Seni tradisi dikembangkan dan diwariskan turun temurun sebagai bagian dari identitas budaya Jawa.
Seni tradisional Jawa yang telah menjadi identitas yang dilakoni dan dihidupi oleh orang Jawa selama bertahun-tahun itu saat ini mengalami erosi akibat kuatnya pengaruh budaya Barat yang disebarkan melalui  tehnologi media seperti film dan televisi.  Anak-anak muda jaman sekarang lebih menyukai tari, lagu dan musik Barat ketimbang seni tradisional. Mereka lebih memilih mempelajari seni musik Barat daripada belajar karya seni tradisi. Karya seni Barat terkesan  modern dan lebih bergengsi, juga lebih ekspresif, spontan dan energik sehingga dirasa lebih pas dengan gejolak jiwa muda .
Kekhawatiran bahaya ancaman budaya asing terhadap keberlanjutan tradisi budaya lokal nampaknya tidak hanya berlaku untuk budaya Jawa tapi juga tradisi banyak suku di Indonesia. Negeri ini berada dalam darurat tradisi.  Kalau tak ada transformasi pengetahuan kepada generasi muda, praktis 10 tahun mendatang seni tradisi di Sulawesi Selatan akan habis…Kalau hal ini terjadi di semua kebudayaan di Indonesia, kita akan menjadi bangsa yang kehilangan sukmanya. Putus sudah yang menghubungkan kita sebagai bangsa ”.
Budaya asing yang mengancam eksistensi budaya local bukan hanya datang dari hegemoni budaya Barat tapi juga budaya tandingannya. Kuatnya penetrasi budaya global telah memicu perlawanan berupa menguatnya  gerakan anti Barat berikut nilai dan ideologi yang terkandung di dalamnya. Gerakan ini cenderung ingin mengembalikan tatanan social, budaya dan politik yang menurut mereka merupakan praktek yang paling ideal dan menjanjikan kesejahteraan.  Gerakan anti budaya Barat  ini juga memperoleh dukungan kuat di Indonesia. Sama halnya dengan budaya Barat, gerakan ini mengenalkan identitas budaya yang berbeda dan bahkan dalam hal tertentu tidak komplemen dengan budaya Jawa dan budaya local banyak suku di Indonesia umumnya.
Baik budaya Barat maupun budaya tandingannya ternyata berpotensi membuat orang Jawa melupakan dan bahkan menilai rendah budaya nenek moyangnya sendiri. Setelah menonton begitu indahnya harmonisasi antara musik gamelan, kostum dan gerak tari tradisional Jawa tidak terbayang sedihnya kalau budaya yang adiluhung itu dilupakan dan dimusnahkan sebagai identitas orang Jawa. Budaya apa yang akan kita turunkan ke generasi muda suku Jawa? Apakah identitas budaya baru itu sedemikian berharganya sampai kita tega memusnahkan kekayaan dan keluhuran budaya ‘indigenous” kita sendiri?
Tentang hal ini, Prof. Nurhayati Rahman menyatakan ancaman kepunahan seni tradisi di Indonesia bukan hanya karena ancaman budaya asing, namun karena “ Kita tak punya kecintaan pada diri kita, bangsa kita, Negara kita. Kita bangga kalau bisa impor segala sesuatu, termasuk ilmu pengetahuan. Makanya tak ada penemuan baru, karena terlalu “menurut mereka”, bukan “menurut kita”. Padahal sumber pengetahuan kita berlimpah”.
Khusus untuk seni tradisional Jawa, saya optimis masih banyak orang Jawa yang “sangat Jawa”. Budaya Jawa dengan pusatnya Kraton Surakarta dan Yogyakarta, ibarat pohon mempunyai akar kuat dalam hati dan jiwa manusia Jawa. Nilai-nilai ajaran Jawa berikut  ritual tradisi tetap terus akan dilakoni orang Jawa  selama Kraton tetap menjadi pusarnya. Banyaknya sanggar seni dan lembaga pendidikan seni di Solo dan Yogyakarta akan terus mencetak seniman-seniman tradisi yang terpanggil untuk merawat dan  mencintai warisan leluhurnya. Buktinya sekarang banyak pertunjukan seni tradisional ditampilkan lakon wayang orang yang sebagian besar pelakunya anak-anak kecil usia TK , SD dan SMP. Dan mereka menunjukkan bakat seni yang sungguh luar biasa. Ikut acung jempol untuk para seniman dan para guru seni yang mempunyai dedikasi tinggi untuk mengabdi bagi seni tradisi dan  yang telah berhasil mencetak calon-calon penerus budaya Jawa. (nDra )

WISATA KOPENG, Sejuk dan nyaman bersama keluarga





Wisata Kopeng adalah nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Getasan, Salatiga, Jawa Tengah, sekitar 15 km dari kota Salatiga. Terletak di ketinggian 1.450 m dari permukan laut. Diapit oleh gunung Telomoyo, Andong dan Merbabu. Menyajikan panorama yang memikat dalam nuansa alam pedesaan dipadu dengan keindahan hamparan tanaman bunga dan sayuran membentuk suasana asri nan menyejukkan.
Wisata Kopeng Salatiga
Wana wisata Kopeng memiliki beberapa lokasi ideal yang bisa digunakan sebagai rekreasi keluarga, perkemahan, outbond dan acara rapat serta seminar pada institusi.
Untuk menuju Kopeng dari Semarang, Anda bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat ke arah Kopeng. Kondisi jalannya beraspal mulus, hati-hati jangan mengendarai terlalu cepat, karena luas jalannya hanya cukup untuk dua mobil.
Di lokasi wisata Kopeng terdapat air terjun Umbul Songo, yang berarti sembilan mata air. Jika Anda masuk ke lokasi Umbul Songo ini akan tercium semerbak udara pegunungan yang bersih dan harum bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar lokasi wisata.
Di Kopeng terdapat banyak villa-villa yang dilengkapi fasilitas TV dan air Panas, ruang pertemuan, ruang makan, bahkan dapur. Sehingga Anda dapat memasak sendiri apabila diinginkan. Serasa seperti di rumah sendiri disertai halaman parkir yang cukup luas. Anda dapat leluasa menikmati hari-hari libur dan rekreasi.
Bagi Anda yang suka pada pendakian gunung, Anda bisa mengunjungi Wana Wisata Kopeng. Dan melihat gunung Merbabu dengan diterawangi oleh sinar matahari sore hari. jadinya puncak gunung seperti berkilauan. Belum lagi udaranya yang segar.